Loading...
ANALISIS
Penulis: Weilin Han 00:00 WIB | Minggu, 27 Juli 2014

Ketika Tongkat Estafet Diberikan: Mengenang Utomo Dananjaya

Utomo Dananjaya: Tokoh pndidik kebangsaan itu sudah berpulang (Foto: ISTIMEWA)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Hampir dua tahun terakhir ini dunia pendidikan kita dibuat lelah dengan upaya pencekokan Kurikulum 2013 yang dilakukan Kemendikbud. Ada banyak jargon digadang-gadang – penilaian otentik, proses 5 M, pembelajaran kontekstual karena dilakukan secara tematik, metode kreatif, dan banyak lagi lainnya, seakan-akan selama ini kita asing dengan semua itu.

Kemendikbud mengandaikan bahwa selama ini tidak ada produk semutakhir dan sebaik K13. Dan ketika saya menerima berita berpulangnya Utomo Dananjaya Selasa (22/7) dini hari lalu kepada Sang Khalik, saya tertegun – apa yang kita lakukan selama ini? Anak-anak muda mungkin berkata, “kemana aja lu?”

Semasa hidupnya, “Apa” (Bapak, bhs Sunda) Tom sangat terkenal terbuka dan rela memberikan waktunya untuk mendengarkan segala macam cerita tentang pendidikan – tidak ada batasan untuk orang yang datang, “senior”, “aktivis”, “pemain lama”, ataupun “anak bawang”, semua diterimanya dengan senyumnya yang meneduhkan. Ruang pertemuan di Gedung Kodel jadi saksi bisu tamu-tamu yang singgah. Entah berapa banyak organisasi dan gerakan yang beliau dorong. Tak terhitung lagi orang-orang yang merasakan kobaran api semangatnya – termasuk pada waktu beliau sudah sakit-sakitan. Nasihatnya tidak berbusa-busa – praktis, kontekstual, relevan. Ah, Apa Tom memang sudah lebih dahulu melakukan apa yang orang lain baru bicarakan.   

Saya membayangkan pasti ada guru-guru muda yang dengan semangat dan mata berbinar-binar bercerita pengalaman mereka mengajar secara kreatif. Dengan penuh semangat mereka bercerita mengenai komentar yang lucu-lucu, suasana yang heboh karena tiap anak ingin ambil bagian, kerepotan-kerepotan karena ternyata begitu banyak pertanyaan cerdas yang muncul, perubahan yang terjadi pada murid-murid ketika mereka juga berteriak “eureka!”

Apa Tom tidak kalah semangat. Beliaupun bertanya macam-macam, mengeluarkan buku-buku dan tulisan-tulisannya, membagikan ceritanya juga, memberikan ide-ide tambahan….. Ah, Apa, ketika kami merasa apa yang kami lakukan adalah hal baru, Apa Tom sudah melakukannya sejak jaman dahulu.

Apa Tom juga banyak menerima orang-orang yang “curcol”, yang penat hati dan panas mata menghadapi birokrat penuh muslihat. Apa Tom tidak lelah-lelahnya mengikuti ragam pertemuan. Beliau sendiri membaca dan mencermati bagaimana kualitas pendidikan kita seakan stagnan – kokoh seperti mercu suar, rapuh di dalamnya.

“Ayo, terus maju. Tetap semangat. Bila lelah, ceritalah, tapi sesudah itu, bangkit lagi. Jumlah mereka yang serampangan sedikit. Tapi jumlah anak-anak kita begitu banyak. Mereka tidak dapat sembarangan dibiarkan. Mereka tidak patut jadi korban”, begitulah nasihatnya. Ah, Apa, dulu Apa sudah mengalaminya – dianggap aneh, berbeda, suka melawan. Apa Tom mengerti seperti apa rasanya ditekan dan tertekan. Ketika kami merasa lelah, Apa Tom terus maju. Kamipun patut malu.

Dan kalau “anak-anak”nya sering bercerita baik yang membuat mata berbinar-binar ataupun panas, pasti Apa mengatakan, “Ayo tulis! Jangan dibiarkan lupa. Kalau kamu menulis, ada banyak orang yang bisa membacanya dan belajar darimu”. Ketika keengganan menyeruak, Apa hanya menunjukkan yang telah Beliau lakukan – memberi contoh dan memperlihatkan bukti. Buku terakhirnya muncul di tahun 2013! Entah tulisannya yang keberapa. Ah Apa, rupanya musuh besar kemalasan itu ada di dalam diri kami sendiri. Ketika kami mengeluarkan beribu alasan,  Apa Tom mengeluarkan beribu tulisan. Apa Tom tak berhenti menulis – menulis untuk kami.

Apakah memang tidak ada yang baru di bawah matahari? Hal-hal yang digembar-gemborkan pemerintah, cerita-cerita yang dengan sabar beliau dengarkan, kedegilan birokrat, masalah-masalah rumit pendidikan yang tak pernah habis, bahkan tulisan-tulisan mengenai pendidikan – sudah beliau alami, sudah beliau tulis, dan sudah beliau perjuangkan dari dahulu. Been there, done that”. Apakah Apa Tom terlalu progresif? Ataukah kita yang berjalan terlalu lamban? Apakah Apa Tom terlalu liat? Ataukah kita yang terlalu regas?

Apa Tom sudah mengakhiri pertandingannya, Beliau sudah mencapai garis akhir dan telah memelihara api perjuangannya dengan konsisten. Dan tongkat estafet amanah pendidikan telah Beliau tinggalkan. Pileuleuyan, Apa Tom. Mugi kami tiasa kiat neraskeun amanah. Sampai jumpa, Bapak Tom. Semoga kami dapat kuat meneruskan amanah

 

Penulis adalah pemerhati pendidikan


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home