Loading...
INDONESIA
Penulis: Eben E. Siadari 10:25 WIB | Rabu, 21 Desember 2016

Media Asing Ingatkan Intrik para Jenderal Jatuhkan Ahok

Basuki Tjahaja Purnama (Karikaturis: Pramono Pramoedjo)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Salah satu media tertua di Inggris yang sangat dihormati, The Economist, memberikan peringatan serius tentang ketidakpastian yang dihadapi Indonesia apabila kasus penistaan agama yang kini disidangkan di pengadilan, menetapkan Gubernur nonaktif DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, bersalah.

The Economist mengingatkan, hal itu bukan saja menyebabkan terganggunya reputasi Indonesia sebagai negara toleran, lebih dari itu Indonesia akan menjadi negara yang dikendalikan oleh 'preman' garis keras yang dikemas dalam agama. Lebih buruk lagi, The Economist mengingatkan kemungkinan munculnya intrik para jenderal memanfaatkan keadaan untuk memperebutkan kekuasaan. Pada akhirnya, kemungkinan terburuk pertumpahan darah komunal bisa terjadi apabila kasus ini tidak ditangani hati-hati.

Dalam tulisan berjudul The Persecution of a Christian Mayor in Indonesia, edisi 24 Desember 2016, The Economist memulai tulisannya dengan menggambarkan sosok Basuki Tjahaja Purnama, yang pada awal kebangkitannya menjadi wakil gubernur DKI Jakarta dan kemudian menjadi gubernur, memberikan harapan besar.

"Dia dan bosnya yang populer, Joko Widodo, telah berjanji menjalankan program yang berani untuk memperbarui perkotaan untuk menyelamatkan kota metropolis yang nyaris tenggelam dan macet. Terlebih lagi, negara demokrasi dengan penduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia itu tampaknya meningkatkan reputasinya dalam hal toleransi," demikian The Economist memulai tulisannya.

Namun, reputasi tentang toleransi itu tiba-tiba dipertanyakan, semenjak Ahok menjadi gubernur DKI Jakarta. Setelah Ahok menunjukkan popularitas yang tinggi dalam pertarungan pemilihan gubernur DKI,  kelompok-kelompok Islam garis keras telah membawa ratusan ribu pengunjuk rasa menyuarakan sikap anti-Ahok.

Ahok dikatakan sombong, tidak sabar, kasar dan tak menghormati tata krama Jawa.  Tetapi di sisi lain dia efektif. Warga Jakarta mengapresiasi kinerjanya dalam mengatasi kemacetan, mengendalikan banjir dan dalam hal pelayanan kesehatan.

Puncak dari penentangan terhadap Ahok adalah tuduhan penistaan agama yang diarahkan kepadanya, ketika ia berbicara di hadapan para nelayan di Kepulauan Seribu. Demonstrasi besar-besaran dikerahkan, awalnya pada empat November lalu yang dihadiri 200.000 orang. Lalu pada 2 Desember dengan kehadiran massa dua kali lipat.

Presiden Joko Widodo akhirnya turun untuk mengatasinya. Namun, menurut The Economist, "sejak itu jelas bahwa para demonstran telah menemukan jalan mereka dan bahwa Ahok akan dituntut dan mungkin dipenjara."

The Economist mengatakan keadaan ini memang patut disesalkan. Ahok jelas tidak bijaksana. "Tetapi jika dia dinyatakan bersalah melakukan kejahatan, sulit untuk melihat siapa sesungguhnya korbannya," tulis The Economist.

Yang pasti, menurut The Economist, walau Jokowi enggan menyaksikan mantan pasangannya itu diadili, ia tampaknya sudah melunak. Polisi juga terbelah tentang apakah Ahok akan diadili atau tidak. Organisasi Muslim terbesar, Nadhatul Ulama,  juga tidak banyak bersuara. Dan para pemimpin mengeluh lebih mudah mengajak orang pergi berdemonstrasi ketimbang pergi ke perpustakaan.

Akhirnya, menurut The Economist, yang tersisa adalah kelompok garis keras, Front Pembela Islam (FPI), yang tampak seperti memimpin. Melalui media sosial, mereka menyebarkan kampanye yang menjadikan etnis Tionghoa sebagai sasaran.

Mereka telah menyebar ke kampung-kampung di Jakarta. Salah satu tempat, yang diamati oleh The Economist, adalah  Pasar Ikan, area rawan banjir dekat pelabuhan tua, yang oleh Ahok dibersihkan April lalu. Beberapa keluarga yang dulu digusur telah kembali dan dengan bantuan FPI, mereka membangun kembali masjid mereka. Hanya saja namanya telah berubah: dari al-Ikhlas menjadi al-Jihad.

Pada akhirnya, The Economist mengingatkan implikasi dari kasus Ahok ini akan berbuntut panjang. Pertama, menurut The Economist, walaupun mereka menyangkal, sangat jelas bahwa para pesaing Ahok dalam Pilkada diuntungkan oleh kasus yang menimpa Ahok.

Lebih lanjut, pertarungan Pilkada kali ini menjadi proxy dari pertarungan pemilihan presiden 2019. "Saat ini popularitas Jokowi sangat tinggi. Satu-satunya cara bagi mereka yang ingin jadi presiden untuk mengalahkan dia adalah mengaitkannya dengan mantan wakil gubernurnya," tulis The Economist.

Namun, implikasi yang lebih serius adalah implikasi kedua yang oleh The Economist disebut sebagai intrik oleh para jenderal. FPI, menurut The Economist, adalah ciptaan pasukan keamanan, setelah kediktatoran Soeharto berakhir, untuk melawan mahasiswa sayap kiri.

"Sekarang ini, tetap berguna bagi tentara untuk mendukung FPI sebagai cara menegaskan kembali pengaruh domestiknya setelah hilang pasca demokratisasi di akhir 1990-an," tulis The Economist.

"Banyak jenderal, seperti FPI, melihat musuh di mana-mana, termasuk etnis Tionghoa Indonesia yang mengendalikan bisnis yang sukses, beberapa dari mereka dekat dengan Ahok," tulis The Economist.

"Sementara itu, Panglima TNI yang agak eksentrik, Gatot Nurmantyo, melihat Tiongkok sebagai kekuatan musuh yang melancarkan "perang proxy" yang bertujuan untuk merusak kaum muda Indonesia. Dia juga menuduh Tiongkok merebut kepemimpinan ekonomi  (Jokowi telah mendorong banyak investasi Tiongkok di bidang infrastruktur)," tulis The Economist.

Dalam konteks ini, tulis The Economist, sindiran yang berkembang bahwa Ahok adalah semacam kolumnis kelima Tiongkok sangat mengganggu. "Sebagian tentara berada di balik kerusuhan berdarah ditujukan kepada etnis-Tionghoa Indonesia pada tahun 1998, dan tentara berperan penting dalam gerakan pembantaian anti Tionghoa yang luas dari 1965."

Pada akhirnya, menurut The Economist, penganiayaan Ahok ini merupakan pukulan bagi hak-hak semua minoritas di Indonesia, apakah itu Ahmadiyah Indonesia, Kristen dan bahkan kaum gay. Namun apabila yang terburuk terjadi, kasus Ahok dapat memunculkan risiko pertumpahan darah komunal seperti yang terjadi dua dekade lalu.

"Indonesia harus hati-hati menjaga reputasi sebagai negara toleran, yang dibangun secara susah-payah," tutup The Economist.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home