Loading...
INDONESIA
Penulis: Martahan Lumban Gaol 20:15 WIB | Kamis, 06 November 2014

Pakar: Sebaiknya Kartu Sakti Jokowi Ditangguhkan Dulu

Seorang warga menunjukkan tiga kartu sakti yang terdiri dari Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) yang merupakan program simpanan keluarga yang diluncurkan oleh pemerintah Joko Widodo dan Jusuf Kalla hari ini, Senin (3/11) di Kantor Pos Fatmawati, Jalan Raya Fatmawati, Jakarta Selatan. Program Simpanan Keluarga yang diluncurkan hari ini merupakan program bertahap yang diberikan kepada 15,5 juta keluarga kurang mampu di Indonesia. (Foto: Dedy Istanto).

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pakar hukum tata negara Margarito Kamis mengharapkan Presiden RI Joko Widodo menangguhkan tiga kartu sakti - Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Indonesia Sehat (KIS) serta Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) – yang telah diluncurkan pada Senin (3/11).

Menurut dia, ketiga kartu tersebut tidak sesuai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan hanya seperti kebijakan Presiden Jokowi semata.

“Tiga kartu sakti itu tidak sesuai dengan APBN, itu hanya seperti kebijakan yang diambil Presiden Jokowi saja.  Jadi sebaiknya kartu itu ditangguhkan dulu untuk membereskan tatanan hukumnya, baru dilanjutkan lagi nanti,” ucap Margarito saat ditemui di Kompleks MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (6/11).

“Karena dia (Presiden Jokowi, Red) sudah bersumpah untuk menjalankan pemerintahan ini berdasarkan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya,” dia menambahkan.

Apalagi, menurut Margarito, ketiga kartu sakti tersebut tidak memiliki sifat mendesat. Sehinngga tidak ada alasan untuk menggunakan keuangan negara tanpa nomenklatur yang jelas dalam APBN. “Saya tahu tujuan Pak Jokowi baik dan mungkin semua orang suka. Tapi sekali lagi, ini bukan hal yg bersifat darurat dan harus ada dasar hukumnya lebih dulu,” kata dia.

“Nomenklaturnya harus ada dulu dalam APBN,” Margarito menegaskan.

Pertanyakan CSR

Pakar hukum tata negara itu juga mempertanyakan corporate social responsibility (CSR)  BUMN yang terlibat dalam penerbitan tiga kartu sakti tersebut. “Apakah baru ada sekarang atau sudah ada sejak lama? Terus dari mana saja, Pertamina, Perusahaan Listrik Negara (PLN), Angkasa Pura, dan lain-lainnya itu semua, bera duit? Harus dibuka sama Pak Jokowi,” kata dia.

Lalu terkait tender saat kartu sakti tersebut dibuat, Margarito juga mengharapkan penjelasan dari Presiden Jokowi. Ia mengaku tidak mengerti kementerian yang diberi tanggung jawab untuk mengerjakan tender KIS, KIP dan KKS.

“Apakah yang buat Kementerian Koordinator Pemberdayaan Manusia dan Kebudayan? Mari dijelaskan, saya minta Kementerian Sekretaris Negara menjelaskan hal tersebut, karena kemarin dia juga yang bilang bahwa tiga kartu sakti itu berasal dari CSR,” ujar dia.

“Kalau masih berantakan, supaya tidak menuai badai di awal-awal pemerintahannya, saya sarankan Pak Jokowi untuk menangguhkan tiga kartu sakti itu untuk sementara, karena ini bukan masalah mendesak yang dapat diselesaikan hanya dengan kebijakan saja,” Margarito menjelaskan.

Mengapa Aturannya Terakhir?

Pada Selasa (4/11), Menteri Koordinator bidang Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani mengatakan payung hukum untuk KIS, KIP, dan KKS dapat berbentuk instruksi presiden (Inpres) atau keputusan presiden (Keppres). Menanggapi hal itu, Margarito mengaku bingung, karena aturan justru dibuat ketiga programnya sudah dijalankan.

“Mengapa program sudah dijalankan tapi aturannya belum dibuat? Itu menunjukkan bahwa dari segi tata kelola sudah salah,” kata dia.

Meski begitu pakar hukum tata negara itu berpendapat KIS tidak tumpang tindih dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Karena dia berpadangan BPJS seperti asuransi sosial, sedangkan KIS tidak memiliki premi yang harus ditanggung oleh pemerintah. “Seperti yang dibilang tadi, kan menggunakan CSR BUMN,” ujar dia.

Di akhir wawancara dengan sejumlah wartawan itu, Margarito mengingatkan bahwa CSR merupakan entitas negara, sehingga bila terjadi penyalahgunaan dalam BUMN bisa menimbulkan tindak pidana korupsi. Karena hukum di Indonesia saat ini tetap mengkualifikasi hal tersebut sebagai kerugian keuangan negara.

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home