Loading...
RELIGI
Penulis: Endang Saputra 16:40 WIB | Senin, 01 Agustus 2016

Pemerintah Harus Atur Pengeras Suara Kegiatan Keagamaan

Anggota Kaukus Pancasila DPR-RI Maman Imanulaq dari fraksi PKB . (Foto: Dok.satuharapan.com/Endang Saputra)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM –  Anggota Kaukus Pancasila DPR-RI Maman Imanulaq dari fraksi PKB menilai pemerintah harus membuat aturan tentang volume pengeras suara dalam kegiatan keagamaan agar kejadian seperti di Tanjungbalai tidak terulang lagi.

 “Kaukus Pancasila memahami bahwa kekerasan yang terjadi di Tanjungbalai pada 29 Juli lalu didorong oleh kesalahpahaman terkait volume pengeras suara masjid yang dirasa menggangu seorang warga berlatar etnis Tionghoa, namun kemudian direkayasa sedemikian rupa melalui penyebaran informasi yang palsu dengan tujuan mendorong kebencian dan kerusuhan, sehingga berakibat pada rusaknya rumah-rumah ibadah umat Budha yang disertai penjarahan," kata dia dalam keterangan resminya yang diterima oleh satuharapan.com, hari Senin (1/8).

Kaukus Pancasila melihat ada dua permasalahan utama yang mendorong terjadinya kerusuhan. Pertama, masalah pengeras suara dan kedua, masalah siar kebencian.

“Terkait pengeras suara, Kaukus Pancasila memandang bahwa kegiatan keagamaan umat manapun tidak semestinya dilakukan secara berlebihan, seperti penggunaan pengeras suara yang mungkin dapat menggangu pihak lain. Sejalan dengan pandangan Kaukus, Instruksi Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam Nomor KEP/D/101/1978 telah mengatur bahwa penggunaan pengeras suara ke luar supaya tidak meninggikan suara yang berakibat pada hilangnya simpati pihak lain, dan hanya berlaku untuk panggilan adzan," kata dia.

Sementara itu untuk kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya seperti doa dan khotbah hanya dibolehkan menggunakan pengeras suara ke dalam.

Kaukus Pancasila, menegaskan "mengeraskan panggilan adzan jangan sampai hanya menimbulkan polusi suara, yang justru menimbulkan antipati umat agama lain," kata dia.

Oleh karena itu panggilan adzan sebaiknya dilakukan oleh muadzin yang bersuara merdu  dengan menggunakan pengeras suara secara tidak berlebihan.

Maman menilai bahwa instruksi Dirjen Bimas Islam ini kurang tersosialisasi ke masyarakat. “Semestinya pengaturan pengeras suara dalam kegiatan keagamaan diatur dalam peraturan yang lebih tinggi agar lebih tersosialisasi dan dapat ditegakan lebih tegas," kata dia.

Selain itu, kata Maman, pemerintah juga harus melakukan upaya yang serius untuk menegakan hukum kepada para pelaku dan mempromosikan toleransi antar masyarakat.

“‪Kaukus Pancasila memandang bahwa kekerasan terhadap rumah ibadah dan barang milik komunitas Tionghoa di Tanjungbalai telah melukai rasa kebangsaan kita dan mencederai nilai-nilai Pancasila, khususnya sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab serta sila Persatuan Indonesia," kata dia.

Menurut Maman, peristiwa tersebut menunjukan adanya tantangan terhadap kebinekaan bangsa Indonesia, yang harus disikapi secara serius oleh segenap elemen negara, khususnya pemerintah.

Kaukus Pancasila juga meminta Pemerintah untuk segera memulihkan situasi keamanan dan memberikan pelindungan kepada para korban Tanjungbalai.

“Kaukus Pancasila DPR sangat prihatin atas kekerasan berlatar Suku, Agama dan Ras Antargolongan (SARA) yang terjadi di Tanjungbalai Sumatera Utara dan menuntut Pemerintah untuk segera memulihkan situasi keamanan dan memberikan perlindungan kepada para korban,” kata Maman.

Sementara itu, anggota Kaukus Pancasila lainnya, Eva Kusuma Sundari, memberi perhatian khusus terhadap beredarnya informasi palsu untuk mendorong kebencian dan kerusuhan.

Eva menuntut kepolisian untuk menindak pula pihak-pihak yang menyiarkan informasi palsu, sehingga mendorong kebencian yang berujung pada kerusuhan.

“Kepolisian memiliki seluruh instrumen yang diperlukan untuk menindak para pelaku siar kebencian. Proses hukum jangan hanya diarahkan pada pelaku kekerasan di lapangan saja. Hal ini tidak akan menyelesaikan persoalan," kata dia.

Terkait hal ini, Kaukus kembali mengingatkan bahwa Indonesia memiliki perangkat hukum yang cukup untuk memberantas siar kebencian.

“Selain telah diatur dalam Pasal 20 Kovenan Hak Sipil dan Politik, siar kebencian merupakan suatu tindakan yang dapat dipidana menurut Pasal 157 KUHP. Terlebih, Kapolri telah menerbitkan Surat Edaran tentang Ujaran Kebencian yang semestinya dapat menjadi pedoman untuk menindak pihak-pihak yang menyiarkan informasi palsu untuk mendorong kebencian," kata dia.

 

Editor : Diah Anggraeni Retnaningrum


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home