Loading...
SAINS
Penulis: Kartika Virgianti 16:21 WIB | Kamis, 29 Agustus 2013

Pengobatan dan Pencegahan Alzheimer

dr. Taufik Mesiano, dokter departemen saraf RSCM yang juga berpraktik di dua rumah sakit lainnya, mengatakan use it or lose it, gunakan otak kita atau kita akan kehilangan sama sekali. (foto: Kartika Virgianti)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pengobatan alzheimer ada yang berupa farmakologi atau biasa disebut dengan obat-obatan, dan pengobatan non farmakologi. Akan tetapi, pengobatan farmakologi ini masih berkembang. Artinya, belum ada obat-obatan yang benar-benar bisa menyembuhkan demensia alzheimer karena obat-obatan yang ada sifatnya hanya menunda gejala menjadi lebih buruk lagi. Hal ini disampaikan oleh dokter departemen saraf RSCM, dr. Taufik Mesiano (34), di tempat praktiknya poli saraf RSCM, Jakarta.

“Misalnya seorang pasien dalam lima tahun terakhir fungsi memorinya semakin memburuk, dengan obat bisa dipertahankan sampai sepuluh tahun. Jadi fungsi obat bukan menyembuhkan tetapi menunda gejala saja,” kata dokter yang juga berpraktik di Rumah sakit Islam Cempaka Putih dan Rumah Sakit Umum Bunda, Jakarta tersebut.

Meskipun demikian, penggunaan obat perlu dipertimbangkan bagi pasien yang memiliki gejala alzheimer pada usia dini, misalnya 56 tahun mengalami lupa yang tidak wajar.

Selain farmakologi, ada juga terapi-terapi non farmakologi. Hal pertama yang bisa dilakukan oleh diri sendiri, misalnya jika sering mengalami lupa bisa menulis agenda yang akan mengingatkan kita. Contoh lain, jika ingin belanja ke pasar dicatat terlebih dahulu. Ada juga terapi stimulasi kognitif, caranya dengan permainan-permainan otak (brain games) seperti catur, mengisi teka-teki silang, atau sudoku.

Akan tetapi, kendala kebanyakan kita sebagai orang berpendidikan adalah lebih senang menggunakan otak kirinya. Otak kanan jarang dipakai. Dengan seni, orang akan bisa bebas mengekspresikan apa saja, misalnya stimulasi musik. Belajar dan memainkan musik juga bisa menjadi alternatif menyenangkan untuk menstimulasi otak.

Pada dasarnya, semua bentuk stimulasi otak adalah kita melakukan hal yang baru di setiap hidup kita. Bukan hal ritual sifatnya atau yang biasa kita lakukan. Misalnya, orang yang sudah terbiasa menggunakan tangan kanan untuk menggosok gigi, berlatih menggunakan tangan kiri. Awalnya akan sangat sulit, karena pada saat itu otak kita sedang terstimulasi untuk belajar hal baru. Akibat proses belajar tersebut, timbul sinapsis-sinapsis atau hubungan antarsaraf yang baru baru pada otak. Hal ini akan memberi keuntungan bagi memori (fungsi ingatan) otak kita.

Atau, bisa juga ketika kita ingin pulang ke rumah tidak lewat jalan seperti biasanya, tetapi cobalah jalan lain. Karena, di jalan lain akan ada banyak hal berkembang yang bisa kita lihat dan ingat.

Cara lain misalnya, jika sudah menguasai bahasa Inggris saat ini, kita dapat ikut kursus bahasa lain, bahasa Jerman atau Prancis. Ia menegaskan semboyan “use it or lose it” artinya gunakan otak kita atau kita akan kehilangan kemampuannya.

Terapi lain disebut terapi rekreasi. Otak juga ada saatnya perlu istirahat, tidak monoton bekerja terus. Maka, kita menggunakan hari libur, misalnya Sabtu dan Minggu, untuk berekreasi. Dengan stimulasi rekreasi ada hormon endorfin yang makin meningkat, yang akan membuat otak kita nyaman. Dengan begitu, ketika kembali  bekerja pada Senin, otak kita akan lebih mudah dalam menerima informasi baru.

Ada terapi lainnya, yaitu mengingat hal-hal yang dulu. Atau, orang terbiasa menyebutnya dengan reuni. Dengan kegiatan ini kita akan mempertahankan ingatan kita sekaligus menstimulasi otak. Ketika kita bertemu dengan teman lama yang sepertinya kenal, otak kita pasti akan berusaha mengingat nama teman tersebut. Juga, saat mendengar pengalaman-pengalaman lain yang diceritakan teman, namun telah lama kita lupakan, maka otak akan terstimulasi membangkitkan memori tersebut.

Biaya adalah sesuatu hal yang perlu dipersiapkan bagi keluarga yang memutuskan melakukan pengobatan farmakologis. Hal tersebut mulai dari biaya untuk diagnosis, membeli obat, sampai sewa pengasuh (babby sitter), atau biaya menitipkan di panti jompo bagi keluarga yang tidak sanggup merawat sendiri orangtua di rumah karena kesibukan.

Di Indonesia, tempat penitipan orang tua biasanya di yayasan seperti panti werdha atau panti jompo. Akan tetapi hal ini terbatas, sebab jika penyakit orangtua sudah terlalu parah dan perlu penanganan khusus, panti tidak akan bisa menampung pasien tersebut. Ia harus dirawat di rumah sakit.

“Sayang, tidak semua rumah sakit di Indonesia memiliki alat atau fasilitas yang mendukung perawatan dari pasien alzheimer ini,” ungkap dokter Taufik.

Harga obat, ia akui memang cukup mahal, sekitar Rp 500.000-1.000.000 sebulan. Belum lagi, sebelum diagnosis biasanya perlu biaya CT Scan (rontgen untuk otak), yang biayanya paling murah sekitar Rp 750.000. Di Indonesia juga belum banyak rumah sakit yang bisa menangani penyakit alzheimer.

“Meskipun biaya pengobatan mahal, kita tidak usah khawatir. Sebab, dukungan keluarga membuat menolong perjuangan pasien dan memangkas biaya,” ungkap dokter Taufik.

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home