Loading...
EKONOMI
Penulis: Eben E. Siadari 09:11 WIB | Jumat, 02 September 2016

Skenario Menyelamatkan Tax Amnesty dari Kegagalan

Capaian program Tax Amnesty per 31 Agustus 2016 (Foto: akun twitter M.Chatib Basri)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Dua bulan setelah program amnesti pajak atau tax amnesty digulirkan, reaksi negatif semakin membesar. Pasca sosialisasi yang masif, termasuk klaim Presiden Joko Widodo yang mengatakan acara sosialisasi selalu dihadiri ribuan pengusaha, pada kenyataannya keresahan di kalangan masyarakat malah sempat meluas.

Akibatnya, tax amnesty bukan hanya menjadi isu ekonomi dan perhatian para pakar ekonomi, tetapi juga kalangan pemerhati politik. Tax amnesty terlanjur menjadi isu sosial yang membuat gaduh di hampir seluruh lapisan masyarakat.

M.A.S. Hikam (Foto: akun facebook M.A.S. Hikam)

Menurut Pakar Politik, Muhammad A.S. Hikam, salah satu penyebab utama terjadinya kegaduhan dalam program tax amnesty adalah komunikasi publik yang amburadul.

"Saya semakin diyakinkan oleh berbagai pandangan, dan juga perdebatan yg terjadi, bahwa persoalan "communication breakdown" itulah akar masalah yang paling penting dan memerlukan perbaikan secara komprehensif," kata Hikam, lewat akun Facebooknya.

Menurut dia, jika ditilik dari masalah substansi tax amnesty, baik landasan konstitusi, legislasi, politik, etik, maupun kepentingan strategis nasional, program itu memiliki landasan kuat dan justifikasi yang bagus. Yang jadi masalah, dalam pelaksanaan di lapangan, ekspektasi pemerintah bahwa kebijakan tersebut akan disambut antusias dan menghasilkan dukungan kuat dari publik ternyata berantakan.

"Alih-alih, yang terjadi adalah kegaduhan dan bahkan penolakan yang semakin marak, masif dan lintas kelompok masyarakat dari yang paling atas sampai bawah. Dan, naga-naganya, ia mulai mengarah menjadi politisasi yg bisa memukul balik (backlash) kredibilitas Pemerintah dan Presiden Jokowi sendiri," kata Hikam, yang di masa kepresidenan Abdurrahman Wahid pernah menjabat sebagai menristek.

Ia menilai,komunikasi publik yang digunakan oleh pemerintah tidak efektif bahkan amburadul. "Respon pemerintah lebih banyak berbentuk reaksi spontan ketimbang sebuah penanganan yg sistematis," kata Hikam.

Ia mencontohkan, Mensesneg Pramono Anung, menengarai adanya apa yang disebutnya dengan 'viralisasi' opini distortif tentang tax amnesty seakan-akan menarget rakyat kecil. Presiden Jokowi dan Wapres JK juga berusaha turun tangan meredakan kegaduhan dengan membuat berbagai statemen yang berisi klarifikasi dan pelurusan terhadap berbagi distorsi serta kesalahpahaman di ranah publik. Pejabat Dirjen Pajak segera  diperintahkan membuat peraturan yang isinya dimaksudkan memberikan klarifikasi yg bisa meluruskan distorsi informasi di ranah publik dan meredakan kegaduhan.

"Tanpa mengurangi rasa hormat kepada para petinggi negara dan pejabat yg terkait, saya belum yakin bahwa kegaduhan akan dapat diatasi jika model komunikasi publik yang digunakan adalah hanya reaktif seperti itu." kata Hikam.

Komunikasi publik yang baik dan efektif, dalam hemat dia, bukan saja memerlukan SDM andal, kecanggihan teknis, dan kampanye media yang baik, tetapi juga mesti dilandasi oleh rasa saling percaya antara kedua belah pihak yang berkomunikasi, dalam hal ini pemerintah dan publik (public trust) yang menjadi subyek dan objek tax amnesty.

"Public trust tersebut hanya akan tercapai jika ada pemahaman yg sama, walaupun bukan berarti persetujuan total antara semua pihak. Pemahaman yg sama terjadi jika pembuktian secara empiris dan konsistensi terjaga serta bisa diketahui secara terbuka dan diperbincangkan secara bebas," kata Hikam.

Tidak Siap

Sementara itu, pakar ekonomi dari The Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati menilai pemerintah tidak siap melaksanakan program tax amnesty.  Hal itu terlihat dari kesimpang siuran klaim pemerintah sendiri.

"Pemerintah sebelumnya menyatakan telah memiliki data wajib pajak atau WNI yang memiliki simpanan dana di luar negeri. Namun, sampai saat ini WNI yang mengikuti amnesti pajak dan memindahkan dananya ke dalam negeri hampir tidak ada," kata Enny Sri Hartati, pada diskusi bertajuk Dialektika: Amnesti Pajak untuk Siapa di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Kamis.

Enny Sri Hartati (Foto: Antara)

Menurut Enny, sebelumnya pemerintah menyatakan ada dana milik WNI yang disimpan di luar negeri sekitar Rp 4.000 triliun dan dari jumlah tersebut jika diterapkan amnesti pajak dapat diterima negara sekitar Rp 163 triliun.

Namun, setelah UU Amnesti Pajak diterapkan pada Juli 2016 hingga memasuki bulan September, hampir tidak ada dana simpanan WNI dari luar negeri yang masuk ke Indonesia melalui penerapan Amnesti Pajak.

"Kalaupun ada dana yang masuk sekitar Rp 2 triliun, itu berasal dari deklarasi dana WNI di dalam negeri, bukan dari luar negeri," kata dia, sebagaimana dikutip oleh Antara.

Menurut Enny, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) belum memiliki data yang lengkap untuk penerapan amnesti pajak,
sementara UU Amnesti Pajak telah diterapkan.

"DJP belum melakukan perbaikan data base pajak, untuk penerapan amnesti pajak dan tidak memiliki data pembanding," kata dia.

Enny menambahkan aparat pelaksana pelayanan pajak dan ketentuan umum perpajakan (KUP) juga belum siap.

Anwar Nasution (Foto: Melki Pangaribuan)

Salah Sejak Awal

Guru Besar Emeritus Fakultas Ekonomi dan Busnis Universitas Indonesia, Anwar Nasution, mengatakan sejak awal program amnesti pajak sudah salah tata cara (sequencing).

"Program itu seyogyanya diintrodusir setelah dilakukan perbaikan administrasi pajak untuk menjalankannya serta ketergasan pemerintah untuk menegakkan UU Pajak. Tanpa itu amnesti pajak pasti gagal," kata Anwar, kepada satuharapan.com.

Tentang keresahan masyarakat akibat program amnesti pajak, Anwar menilai, seharusnya itu tidak perlu karena di seluruh dunia sepanjang sejarah rakyat membayar pajak dan membayar pajak adalah kewajiban warga negara untuk membelanjai kegiatan negaranya.

Sayangnya, kata Anwar, Indonesia terlanjur jadi negara sorga bagi pengemplang pajak. "Ini negara sorga bagi pengemplang pajak. Pasal 33 UUD 1945 hanya tontonan yang tidak ada maknanya. Di negara lain pengemplang pajak diusut hingga seluruh pelosok dunia," kata dia.

Skenario Menyelamatkan Tax Amnesty

Walaupun Dirjen Pajak telah menerbitkan Peraturan Dirjen Pajak yang dimaksudkan untuk mengklarifikasi sejumlah kebingungan masyarakat bawah, A.S.Hikam menilai kegaduhan masih berpotensi terjadi karena belum terbangunnya kepercayaan publik pada program ini.

Sejak amnesti pajak dirumuskan dan kemudian menjadi UU dan dilaksanakan, tutur dia, persoalan pembangunan kepercayaan (trust building) tidak digarap secara sistematis.

"Mungkin hal itu disebabkan karena pemerintah sangat pede karena kebijakan amnesti pajak ini sangat positif dan strategis, maka akan ditanggapi positif, diterima, dan didukung publik secara luas. Kealpaan dalam membangun public trust inilah yang membuka celah dan memudahkan upaya distorsi tentang amnesti pajak di ruang publik dan rentan terhadap manipulasi (termasuk politisasi). Kebijakan publik terkait pajak di manapun adalah ihwal yg secara politis sangat sensitif. Karenanya menciptakan public trust yg solid merupakan persoalan paling dasar dan awal sebelum kebijakan dilaksanakan," kata dia.

Lana Soelistianingsih (Foto: fiskal.co.id)

Untuk menyelamatkan program amnesti pajak yang terancam gagal ini, Pengamat Ekonomi dari Universitas Indonesia,  Lana Soelistianingsih menyarankan pemerintah memperpanjang rentang waktu pelaksanaan program amnesti pajak. Salah satu caranya adalah pemerintah menerbitkan peraturan pengganti undang-undang (Perpu). Dengan perpanjangan itu, program amnesti pajak bisa disosialisasikan lebih baik.

Program amnesti pajak, menurut UU, terbagi atas tiga triwulan yaitu Juli-September 2016, Oktober-Desember 2016, dan Januari-Maret 2017 dengan tarif tebusan yang dipatok berbeda sesuai periode. Khusus repatriasi dan deklarasi dalam negeri, pada periode pertama sebesar 2 persen dari harta bersih yang diungkap. Kemudian tarifnya naik menjadi 3 persen pada periode kedua, dan pada periode terakhir sebesar 5 persen.

Lana mengusulkan untuk periode pertama amnesti pajak diperpanjang hingga Maret tahun depan karena masyarakat membutuhkan penjelasan perpajakan yang baik. Selain itu, masyarakat dapat mempersiapkan uang untuk membayar tebusan.

A.S. Hikam pun menyarankan hal yang mirip. Menurut dia, pemerintah perlu terbuka untuk menunda pelaksanaan amnesti pajak, lalu diikuti dengan sosialisasi yang lebih luas dan penegakan hukum terhada target-target utama amnesti pajak.

Anwar Nasution mengatakan, amnesti pajak hanya dapat berhasil bila pemerintah sungguh-sungguh melakukan reformasi sistem pajak. Selain itu, pemerintah harus tegas dalam menegakkan hukum. "Tangkap pengemplang pajak besar, cukup 5 orang saja sebagai contoh. Kalau tidak, pemerintah hanya dianggap macan kertas," kata dia.

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home