Loading...
OPINI
Penulis: Trisno S Sutanto 00:00 WIB | Kamis, 02 April 2015

Ti Estin Aletheia?

SATUHARAPAN.COM – Apa itu kebenaran? "Ti estin aletheia?" Bukan, pertanyaan itu bukan diajukan oleh seorang filsuf, tetapi oleh Pilatus, gubernur (prokurator) Yudea, saat berhadapan dengan Yesus. Setidaknya itu yang dicatat Yohanes dalam injilnya.

Dan ia mengajukannya bukan dalam ruang kelas atau seminar filsafat sebagai bahan diskusi. Jika kita melihat keseluruhan narasi Yohanes yang melatarinya, mungkin bisa dibilang Pilatus mengajukannya dengan nada frustasi, tak tahu lagi mau berbuat apa dengan figur yang berdiri di hadapannya itu. 

Pilatus heran. Bukankah baru beberapa hari lalu figur yang berdiri di hadapannya, sembari menaiki keledai, diarak dan disambut meriah saat memasuki Yerusalem? Bahkan orang banyak berteriak-teriak, "Hosana! Hosana bagi Anak Daud! Diberkatilah Ia yang datang atas nama Tuhan!" sembari mengibarkan daun palma bak menyambut raja. 

Paling tidak, cerita itulah yang didengar Pilatus dari mata-matanya. Dan ia sempat was-was, bahwa perayaan keagamaan di Yerusalem, seperti yang ia duga sebelumnya, akan berubah jadi pemberontakan massal melawan kekuasaan imperium Romawi yang diwakilinya? Dan orang itu yang akan memulainya!

Tetapi kekhawatiran Pilatus segera berubah, digantikan rasa bingung dan heran. Pertama, alih-alih memimpin pemberontakan massal, seperti dikhawatirkan Pilatus, Yesus kini malah diseret para pemimpin agama dengan tuduhan penodaan agama. Bahkan lebih serius: menghujat nama Tuhan, yang sanksinya bisa dijatuhi hukuman mati, kalau mengikuti adat istiadat Yahudi.

Baiklah, kalau soal hukum Yahudi, Pilatus tidak tahu, dan bahkan tidak mau tahu. Ia bukan orang Yahudi. Jadi itu urusan mereka sendiri. Namun Pilatus adalah wakil "kekuasaan resmi" imperium Romawi yang harus tegas di dalam menegakkan rule of law. Apalagi ini menyangkut nyawa orang. Bayangkan apa jadinya kalau ia salah memberi keputusan. Dan kalau soal perubahan seketika masyarakat, sebagai seorang politisi pasti Pilatus tahu betapa mudahnya sentimen masyarakat berubah sesuai arah angin yang bertiup. Itulah politik, dunia yang serba tak pasti.

Soal kedua yang membingungkan Pilatus, adalah nasihat istrinya, Claudia Procula, cucu Kaisar Agustus yang sombong. Perempuan yang dinikahinya setahun sebelum mereka pindah ke Yudea, dan sampai sekarang tidak memberinya keturunan itu, kali ini bertindak di luar kelaziman. Ia memberi Pilatus catatan, yang kemudian masuk ke dalam catatan Matius ( walau tanpa menyebut nama ), agar suaminya "tidak mencampuri perkara orang yang tidak bersalah itu". Konon, Claudia tahu kebenaran kasus itu dari mimpi buruknya semalam.

 

Tie Alitea

 

Lukisan "The Dream of Pilate's Wife" oleh Alphonse François  (Sumber: Wikipedia)

Tetapi yang paling membingungkan Pilatus adalah soal ketiga: berhadapan dengan segala tuduhan penodaan, dan bahkan tuduhan menghujat Nama Tuhan yang bisa berakibat dijatuhi hukuman mati, Yesus tidak memberi pembelaan apa-apa! Ia diam seribu bahasa, sehingga membuat Pilatus makin terdesak. Upaya Pilatus mencari "kebenaran" tentang diri Yesus pun tidak mendapat tanggapan berarti. Padahal jelas -- setidaknya menurut Pilatus -- bahwa dialah Sang Penguasa, wakil resmi dari imperium Romawi nan perkasa di Yudea. Apapun keputusan yang diambil Pilatus akan menentukan hidup-mati Yesus, bahkan seandainya Sanhedrin, mahkamah agama Yahudi, tidak setuju dengan keputusannya. Itulah yang dikatakannya pada Yesus. Namun lelaki kurus di hadapannya malah menyangkal, "Engkau tidak memiliki kekuasaan atas diriku"!

Pilatus sungguh kesal. Apalagi saat ia bertanya tentang identitasnya, Yesus malah menjawab bahwa ia datang untuk "memberi kesaksian tentang kebenaran". Sebuah jawaban yang sesungguhnya bukan jawaban bagi Pilatus. Karenanya, dengan nada meninggi, ia menukas, "Ti estin aletheia?" Mungkin lebih pas kalau pertanyaan itu diterjemahkan, "Apa, sih, kebenaran yang kamu omongkan itu?!"

Dan Yesus tidak menjawabnya. Ia merasa tidak perlu, karena jelas bahwa keduanya berbicara tentang "kebenaran" pada tataran berbeda. Bagi Pilatus, yang mendaku diri sebagai sang penguasa, kebenaran adalah apa saja yang dapat ditentukan olehnya. Bukankah kata-kata penguasa kerap menjadi sabda yang menentukan apa itu kebenaran? Tetapi tidak bagi Yesus, yang sadar siapa "Penguasa" (dengan "P") sebenarnya. Di mata Yesus, kekuasaan yang didaku Pilatus sesungguhnya kosong, sekadar topeng bagi kekhawatirannya saja.

Tilikan Yesus terbukti. Pada akhirnya, walau harus bertentangan dengan nuraninya, dan mengaku bahwa ia "tidak menemukan kesalahan pada orang ini", Pilatus menyerah pada tekanan orang banyak dan mengurbankan "kebenaran". Apalagi saat para imam, dengan cerdik, menggeser kasus Yesus tidak lagi pada soal pelanggaran hukum agama, melainkan jadi persoalan politik: "Jikalau engkau membebaskan orang ini, engkau bukanlah sahabat Kaisar." 

Tuduhan itu sungguh menakutkan Pilatus, sekaligus menelanjangi topeng kekuasaan yang didakunya. Termasuk koalisi busuknya dengan Yosef Kayafas, si Imam Agung, untuk mempertahankan kekuasaan mereka (begitu menurut Gordon Thomas, mantan jurnalis yang menulis The Jesus Conspiracy, Kanisius, 2009). Maka ia pun membiarkan Yesus disalib, sembari mencuci tangannya.

Bukankah Pilatus adalah wajah kita semua? Juga wajah kekuasaan yang kerap bengis, mau menentukan segala-galanya, dan bahkan mendaku sebagai "kebenaran" itu sendiri, walau sebenarnya sangat rapuh? Fragmen Yohanes mengajak kita merenungkan itu, sembari membisikkan pertanyaan abadi, "Ti estin aletheia?"

Sekadar catatan penutup: nama Pilatus selalu disebut setiap hari Minggu, saat umat kristiani mendaraskan Credo, yakni pengakuan iman mereka di gereja-gereja. Pilatus, Maria dan Yesus adalah tiga nama historis yang ada dalam credo tadi. Tetapi, mungkin ironis, hanya Claudia Procula, istri Pilatus yang namanya tidak disebutkan Matius,  memperoleh gelar "Santa"  dan dihormati sebagai orang kudus baik dalam tradisi gereja Timur maupun Gereja Ortodoks Yunani. Sungguh sejarah sudah terbalik!

 

Penulis adalah Koordinator Penelitian Biro Litkom-PGi


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home