Loading...
BUDAYA
Penulis: Francisca Christy Rosana 13:22 WIB | Rabu, 03 Desember 2014

Visual Culture, Ketika Desain dan Seni Tak Dapat Dipisahkan

Visual Culture, Ketika Desain dan Seni Tak Dapat Dipisahkan
Chandra Johan, pelukis sekaligus kurator pameran tunggal desainer interior Francis Surjaseptra bertajuk ‘Hibrida’ di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta pada Selasa (2/12) malam. (Foto: Francisca Christy Rosana)
Visual Culture, Ketika Desain dan Seni Tak Dapat Dipisahkan
Dari kanan Irawan Karseno, Ketua Umum Dewan Kesenian Jakarta dan Chandra Johan saat membuka pameran Hibrida.

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Chandra Johan, pelukis sekaligus kurator pameran tunggal desainer interior Francis Surjaseptra bertajuk ‘Hibrida’ mengatakan kini masyarakat tengah memasuki visual culture.

Visual culture merupakan budaya ketika desain dan seni melebur dan tak dapat dipisahkan.

“Awal abad 20 menandakan lahirnya dua dunia sebagai kategori visual dan sekarang kita memasuki visual culture,” kata Chandra di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta pada Selasa (2/12) malam.

Desain dan seni menurutnya adalah dua pilar dalam payung budaya yang tidak dapat dipidahkan.

Penikmat seni maupun seniman tidak dapat menghindarkan karya seni dalam dunia desain dan desain dalam berkarya seni.

“Jadi ini dua hal yang sebenarnya saling melebur,” kata Chandra.

Memasuki masa modern, prinsip desain dan seni yang kaku sudah tidak lagi relevan. Terkotak-kotaknya desain dan seni menurutnya telah membawa Indonesia pada ketertinggalan dengan bangsa-bangsa lain. Pameran desain di wilayah seni di Taman Ismail Marzuki ini, kata Chandra, seharusnya telah dilakukan sejak lama.

“Dewan Kesenian Jakarta harus diapresiasi karena berani membuka awal dari desain sebagai seni. Kita sudah ketinggalan banyak desain star. Seniman itu bintang, apakah desainer bukan bintang? Jadi kalau Taman Ismail Marzuki memainkan seni saja, pincang jadinya,” ujar Chandra.

Seorang desainer memang tidak bisa lepas dari unsur seni. Ekspresi pribadi pasti muncul dalam karya-karya seorang desainer, baik itu desainer interior, fashion, maupun desainer di bidang lain.

“Desainer pasti ingin juga ingin ‘bicara’,” Chandra menambahkan.

Dari fenomena ini pada akhirnya desain dan seni akan lebur dalam industrialisasi.

“Sekarang apapun telah masuk dunia industri,” kata dia.

Sementara itu, ketika mengomentari karya-karya Francis yang menggabungkan desain, seni, dan nilai-nilai lokal, Chandra melihat karya-karya ini sebagai sebuah personal style.

“Pada titik ini saya melihat karya Francis memiliki personal style dan mempunyai ekspresi pribadi tentang hal-hal yang dia pikirkan dan tentang hal-hal yang ingin dia kritik menjadi karya seni yang berbicara,” ujarnya.

Dari beberapa karya yang dipamerkan Francis, beberapa di antaranya menurut Chandra bukan berbentuk benda, tetapi berbentuk pikiran. 

Francis memamerkan beberapa buah karya, seperti FurniLove (ranjang goyang), Shell (instalasi kamar tidur yang sudah berubah menjadi sebuah furnitur karena keterbatasan ruang dan berbentuk seperti kerang), 7 (hiasan dindig berupa gambar kaki-kaki perempuan, interpretasi cerita rakyat Jaka Tarub), Playbath (bathub dengan kedalaman yang pas), Java Chair (kursi kantor yang didesain menggunakan bahan tenun), Suru (sendok yang diadaptasi dari sendok daun pisang), dan radio kayu.

Melalui karya-karyanya, Francis ingin menyuarakan hibrida antara penalaran desain, penanganan craftsmanship, dan ekspresi personal sebagai produk asli Indonesia yang dapat disetarakan dengan bangsa lain. 

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home