Loading...
OPINI
Penulis: Anil Dawan 12:40 WIB | Selasa, 26 Juli 2022

Berhikmat Membedakan Antara Hukuman Kekerasan atau Disiplin Positif

Dr. Anil Dawan M.Th, Manajer Faith and Development WVI. (Foto pribadi)

SATUHARAPAN.COM - Dalam pelatihan-pelatihan perlindungan anak dan pengasuhan kerap kali peserta ternyata belum bisa membedakan antara hukuman kekerasan dan disiplin positif. Padahal jika kita mau berefleksi lebih dalam natur dari keduanya sangat berbeda dari segi definisi, cara, tujuan, dan hasil yang dicapai diantara keduanya. Hukuman kekerasan akan melahirkan generasi pecundang, sedangkan disiplin positif akan melahirkan generasi pemenang dan cemerlang.

Narasi Sejarah Kekerasan yang Memilukan

Lamat-lamat kita tentunya masih ingat kejadian historis yang memilukan atas meninggalnya seorang siswa SMP bernama Fanli Lahingide (14), siswa SMP di Manado yang tewas saat dijemur dibawah matahari dan dihukum lari oleh guru piket berinisial oknum guru CS, Selasa (1/10/2019) pagi menyisakan kepedihan bagi orangtua dan keluarganya. Pada tanggal 1 Oktober oknum guru memberi hukuman tindakan fisik yaitu dijemur dan lari mengelilingi lapangan sekolah. Fanli dihukum berlari karena sudah dua kali terlambat datang ke sekolah. Saat dihukum berlari di halaman sekolah, Fanli sempat meminta istirahat karena kelelahan, namun tidak diizinkan oleh CS hingga akhirnya korban jatuh pingsan dan korban meninggal pada pukul 08.40 Wita saat dirujuk ke RS Prof Kandou yang meninggal dunia karena dihukum untuk lari mengelilingi lapangan. Keluarga tidak menerima keadaan tersebut dan membawa kasus ini ke ranah hukum. Sebelumnya yang bersangkutan pingsan dan dibawa ke RS dan akhirnya meninggalnya di rumah sakit. Kemungkinan pada saat menuju rumah sakit korban sudah meninggal.

Pihak kepala sekolah mencoba menjelaskan dan memfasilitasi menyelesaikan kasus ini dan menaruh empati dengan cara membantu proses pemakaman, penghiburan dapat diselesaikan. Pihak Kepolisian mencari 13 saksi dan oknum guru yang menghukum juga sudah dimintai keterangan pada tanggal 3 Oktober 2019. Informasi dari saksi akan dilengkapi dengan otopsi korban untuk segera menyimpulkan kasus tersebut. KPAI mengecam masih adanya hukuman fisik di sekolah. Aturan guru memberi sangsi tidak boleh melanggar norma dan kewajiban sekolah adalah melindungi anak dari segala kekerasan. Kekuatan fisik setiap anak tidak sama. Hukuman yang ideal? Apakah dengan kekerasan fisik akan memperbaiki keadaan anakdan juga sesuai dengan kondisi anak? Dalam UU 35 tahun 2014 sudah disebutkan bahwa tugas guru dan pendidik adalah melindungi anak dari segala bentuk kekerasan di sekolah. Orang tua dan tokoh agama juga memiliki peran untuk memberikan pemahaman yang benar, dan mempraktekan cara disiplin positif, dan bukan hukuman dengan kekerasan.

Pendisiplinan yang Positif

 Setiap anak berpotensi selalu menimbulkan masalah ketidakdisiplinan yang dipicu oleh berbagai faktor misalnya, kebutuhan, keinginan atau harapannya yang tidak dapat dipenuhi oleh orang tuanya dan orang dewasa di sekitar lingkungannya. Untuk itu, sangat diperlukan aturan tertentu, sehingga tidak terjadi kesewenangan tingkah laku anak di dalam keluarga dan sekolah atua lingkungan yang lebih luas. Akan tetapi orang dewasa seperti orang tua dan guru, tokoh agama harus bisa membedakan antarakan hukuman kekerasan dan disiplin positif. Kata discipline berasal dari kata Latin yang merujuk untuk murid, artinya memberi pengajaran, mendidik dan melatih. Kamus Bahasa Indonesia juga menyebutkan bahwa disiplin adalah latihan watak atau batin dengan maksud supaya segala perbuatannya selalu mentaati tata tertib. Berdisiplin artinya, mentaati atau menurut tata tertib.

Menurut Elisabet B. Hurlock menjelaskan bahwa disiplin sebagai proses dari latihan atau belajar yang bersangkut paut dengan pertumbuhan dan pengembangan. Disiplin adalah suatu pembelajaran agar anak mampu bertingkah laku dan bersikap sesuai dengan tata tertib yang berlaku. Dengan demikian proses pendisipilinan menjadi rangkaian dari proses pembelajaran dan perubahan perilaku untuk menjadi tertib dan mengikuti aturan yang berlaku. Namun dalam membuat aturan di rumah dan sekolah, anak-anak juga perlu dilibatkan dalam kesepakatan bersama. Sedangkan Yerry Wyckoft & Barbara Unel mengatakan bahwa disiplin adalah proses belajar mengajar yang mengarah kepada ketertiban dan pengendalian diri. Disiplin merupakan proses pembelajaran, di mana anak diajar untuk berperilaku dengan tertib. Dengan demikian displin positif merupakan suatu tindakan untuk melatih dan mengoreksi menuju pada kedewasaan. Tujuannya untuk mengubah dan memperbaiki perilaku, fokus pada koreksi perbaikan untuk masa depan yang lebih baik. Orang tua dan orang dewasa melakukan displin positif dengan dilandasi kasih dan kepeduliaan kepada anak. Hasil dan dampak yang didapat anak dari displin positif adalah rasa aman, keteguhan pada prinsip dan karakter yang positif.

Kontras sebaliknya bahwa hukuman kekerasan lazimnya dilakukan dengan cara yang menyakiti anak secara fisik, psikis dan spiritual. Tujuan menghukum pada umumnya berniat menyakiti untuk suatu pelanggaran yang dilakukan anak. Tujuannya hukuman juga kerap kali membuat anak tunduk pada aturan dan menyelaraskan diri dengan peraturan dan otoritas, fokus pada kesalahan atau perilaku buruk masa lalu. Orang tua dan guru yang mengkum anak, biasanya diliputi rasa amarah, permusuhan dan frustasi. Dan hasil dari hukuman kekerasan justru membawa dampak ketakutan, dan rasa bersalah, rasa minder kepada anak. Rumah, Sekolah dan tempat ibadah harusnya merupakan lingkungan yang ramah bagi anak, dimana kekerasan harus menjadi zero tolerance di area tersebut. Oleh karena itu harus ada upaya-upaya preventif dan antisipatif yang dilakukan pihak keluarga, sekolah dan tempat ibadah untuk meminimalkan resiko dan mengubah wajah pendidikan yang berwajah kekerasan menjadi wajah yang memberdayakan. Beberapa langkah yang bisa kita lakukan Pertama, tentukan perilaku spesifik yang akan diubah pada diri anak. Kedua, orang tua dan guru, serta tokoh agama harus mengatakan dengan tepat apa yang diinginkannya agar supaya anak lakukan. Ketiga, orang tua dan guru, serta tokoh agama bisa memuji mengapresiasi anak, bila ia telah melakukan sesuatu perintah, mentaati suatu aturan dsb. Keempat, orang tua dan orang dewasa perlu mengendalikan emosi dan kemarahan saat anak melanggar aturan dan ketertiban. Tidak diperkenankan menyimpan kemarahan yang berkepanjangan. Kelima, Orang dewasa perlu menjauhkan praktek budaya yang mengandung unsur kekerasan dalam mendidik anak. Ketegasan sikap diperlukan daripada kemarahan yang tiada berujung. Semoga sebagai orang dewasa makin berhikmat membedakan antara hukuman kekerasan dan positif disiplin sehingga anak-anak makin berkarakter positif dan menjadi pribadi yang bertumbuh kembang secara utuh.


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home