Loading...
EKONOMI
Penulis: Melki Pangaribuan 16:47 WIB | Kamis, 21 April 2016

Gap Kaya-Miskin Sekarang Lebih Parah Dibanding Masa Soeharto

Ilustrasi: Para ibu-ibu saat terlihat berada di halaman rumah tinggal yang berada di bantaran sungai Ciliwung, Jakarta Selatan yang sampai saat ini masih terlihat di ibu kota Jakarta. (Foto: Dok. satuharapan.com/Dedy Istanto)

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Kesenjangan antara orang kaya dan orang miskin di Indonesia dewasa ini lebih parah dibandingkan dengan zaman Soeharto. Parahnya kesenjangan pendapatan yang ditunjukkan oleh indeks gini (gini ratio) yang terus memburuk sejak era reformasi dan bertambah parah belakangan ini.

Walaupun Kepala Badan Pusat Statistik, Suryamin, ketika mengumumkan indeks gini terbaru awal pekan ini, mengatakan terjadi perbaikan dalam ketimpangan pendapatan, namun pakar ekonomi umumnya mengatakan kesenjangan pendapatan di Indonesia masih tergolong memburuk.

Menurut Suryamin, indeks gini Indonesia per September 2015 tercatat sebesar 0,40, turun dari 0,41 pada Maret 2015. Sebagai catatan, dalam APBN 2016, pemerintah mengatakan akan mendorong penurunan indeks gini menjadi 0,39 pada 2016 dan menjadi 0,36 pada 2019.

Indeks gini merupakan indeks yang mengukur kesenjangan pendapatan antara 20 persen masyarakat berpendapatan tertinggi dengan 20 persen pendapatan masyarakat berpendapatan terendah. Dengan rentang angka 0,0 hingga 1,0. Indeks 0,0 indeks gini menunjukkan kemerataan pendapatan sempurna, atau tidak ada kesenjangan. Sedangkan indeks gini sebesar 1,0 menunjukkan kesenjangan sempurna.

Menurut Suryamin, perbaikan ketimpangan pendapatan terjadi di daerah perkotaan, tampak pada penurunan indeks gini 0,1 poin menjadi 0,43. Sedangkan di daerah pedesaan tetap stagnan di 0,33.

Kendati ketimpangan pendapatan mengalami penurunan, ahli ekonomi belum yakin penurunan itu akan menjadi kecenderungan di masa mendatang. Bahkan, bila dibandingkan dengan kenyataan di masyarakat, ketimpangan pendapatan tampak justru meluas.

Lebih ironis, era reformasi yang dalam 15 tahun terakhir diklaim sebagai koreksi terhadap berbagai praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di era Soeharto, ternyata gagal dalam mengatasi kesenjangan orang kaya dan miskin.

Data menunjukkan pada tahun 1990-an indeks gini Indonesia rata-rata ada di angka 0.30. Namun angka ini meningkat pesat menjadi rata-rata  0,39 di tahun 2000-an, dan bertahan di angka 0,41 pada rentang waktu 2011-2014, sebelum turun menjadi 0,40 pada tahun 2015, menurut data terbaru BPS.

 

 

 

 

 

 

 

 

(Sumber tabel: indonesia-investments.com)

Meluasnya ketimpangan pendapatan sudah diungkap oleh Bank Dunia dalam surveinya tahun lalu. Di satu sisi perekonomian tumbuh cukup kuat dalam 15 tahun terakhir. Namun, menurut Bank Dunia, pertumbuhan itu lebih dinikmati 20 persen masyarakat terkaya. Sedangkan 80 persen penduduk – atau lebih dari 205 juta orang – rawan merasa tertinggal.

Bank Dunia menunjukkan ketimpangan pendapatan di Indonesia melebar relatif lebih cepat  dibanding banyak negara Asia Timur lainnya.

Data Bank Dunia menunjukkan antara tahun 2003 hingga 2010, bagian 10 persen penduduk terkaya di Indonesia meningkat konsumsinya sebesar 6 persen  per tahun sedangkan 20 persen termiskin konsumsi mereka tumbuh kurang dari 2 persen per tahun.

Survei persepsi masyarakat, yang dikutip oleh Bank Dunia pada tahun 2014 mengenai ketimpangan pendapatan, menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia menganggap distribusi pendapatan di Indonesia sangat tidak setara, atau tidak setara sama sekali.

Sejumlah responden mengatakan, bila tidak ada tindakan untuk mengatasi hal ini, risiko konflik akan meningkat.

Dalam wawancara dengan wartawan satuharapan.com, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Anwar Nasution, mengatakan bukan saja risiko kerusuhan meningkat akibat ketimpangan pendapatan yang memburuk, juga bisa menyuburkan ekstremisme.

“(Jadi) bukan saja kerusuhan tapi juga ekstremisme. Coba tempat kan diri (kita) pada Amrozi yang membom cafe di Bali. Pendidikan rendah, lapangan kerja tidak ada sehingga dengan mudah dapat digoda oleh kelompok ekstremis,” kata Anwar Nasution.

Kecemburuan sosial, menurut dia, adalah konsekuensi dari semakin tingginya kesenjangan antara yang kaya dan miskin.

"Jelas akan terjadi kecemburuan antara pengangguran dengan yang bisa bekerja, antara yang miskin dengan orang kaya. Karena terbatasnya pajak dan penghasilan BUMN membatasi kemampuan negara membantu orang miskin,” kata mantan deputi senior gubernur Bank Indonesia itu.

Sayangnya, Anwar Nasution melihat masih banyak kebijakan pemerintah yang tidak sejalan dengan upaya mengatasi ketimpangan pendapatan.

"Salah satu sebabnya sistem pajak tidak berfungsi sebagai instrumen pemerataan. Sudah wajib pajak kecil dan rasio penerimaan pajak rendah, diumbar pula amnesti bagi penggelap pajak," kata dia.

Selain itu resesi ekonomi dunia juga membuat ketimpangan pendapatan meningkat. "TKI pulang karena resesi di seluruh dunia. Menjadi pengendara ojek dan buka lapak bukan pilihan karena produktivitasnya rendah adn pasarnya terbatas karena tidak bisa diekspor," kata dia.

Anwar Nasution menekankan pentingnya penciptaan lapangan kerja yang berorientasi ekspor. "Kalau tak punya modal, teknologi dan jaringan pemasaran, undang modal asing seperti di RRT dan India," tutur dia.

Editor : Eben E. Siadari


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home