Loading...
INDONESIA
Penulis: Endang Saputra 18:47 WIB | Kamis, 04 Agustus 2016

Kapolri Nilai Konflik Agama Paling Berbahaya

Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian di acara "Dialog Bersama Kapolri" di Jalan Kemiri No 24 Menteng, Jakarta pusat, hari Kamis (4/8). (Foto: Endang Saputra).

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Kapolri Jenderal Tito Karnavian menilai konflik agama jauh lebih berbahaya ketimbang menyangkut soal ekonomi ataupun politik.

Keadaan makin rumit ketika ketiganya bercampur, dan kemudian dikemas seolah-olah menjadi isu agama.

Solusinya, lanjut Tito, adalah menegakkan bangunan NKRI dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika. Sebab, jika hal ini tidak dikuatkan, maka akan terjadi perpecahan.

Ada tiga cara untuk membendung konflik atas nama agama ini menurut Kapolri, yaitu pencegahan, penghentian kekerasan, dan pemulihan. Untuk pemulihan sendiri terbagi menjadi tiga hal, yaitu rekonsiliasi pihak-pihak terkait, rehabilitasi terutama untuk korban luka, terpinggirkan dan meninggal, dan terakhir rekonstruksi.

“Ini harus ditangani khusus, karena bisa menimbulkan dendam,” kata Tito di acara "Dialog Bersama Kapolri", di Kantor Centre for Dialogue and Cooperation Among Civilization (CDCC), di Jalan Kemiri No 24 Menteng, Jakarta Pusat, hari Kamis (4/8).

Tito mengakui, institusinya masih lemah dalam mengidentifikasi potensi-potensi konflik.

“Pada zaman Orde Baru, leading sector itu dari militer. Tetapi, kemudian di era Reformasi terjadi paradigma baru leading sector di Polri. Kemudian Polri mampunya di penghentian,” ia menjelaskan.

Selain itu, Tito menilai Indonesia sudah 70 tahun merdeka tapi sikap intoleransi masih tumbuh subur di Tanah Air.

"Harusnya sudah tenang setelah 70 tahun negeri ini merdeka, tidak lagi mempersoalkan suku, agama, ras dan antar-golongan (SARA). Toleransi beragama sudah berjalan. Tetapi, kenapa masih terus berlangsung?" kata dia.

Tito berpendapat, hal itu disebabkan karena makin suburnya radikalisme, terutama di kalangan masyarakat bawah.

Pada sisi lain, demokrasi Pancasila yang dianut negeri ini mulai bersinggungan dengan demokrasi liberal. Semua orang bebas berpendapat, dan beragama, termasuk menolak pendapat orang lain. Di sinilah kemudian timbul persoalan, yaitu sikap memaksakan pendapat orang lain.

“Konflik yang terberat adalah yang mengandung unsur keagamaan. Ini sangat berbahaya, karena ini dianggap perintah Tuhan, maka mereka berani siap mati untuk itu. Kita lihat beberapa kasus, separatisme. Teman-teman yang aksi di Papua itu masih takut mati, tapi kalau yang bom Bali itu cari mati," katanya.

Kapolri juga menyinggung media sosial, yang juga gampang memprovokasi. Apalagi, kata Tito, kekerasan itu bagian dari doktrin itu, yang kemudian mengkafirkan orang lain atau menganggap agama lain tidak benar.

“Menurut saya itu yang perlu dicarikan solusi di negara ini. Media sosial sudah tidak terbatas lagi. Kasus Tanjungbalai kemarin bukan karena media konvensional, tapi medsos,” kata dia.

Editor : Sotyati


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home